Category Archives: Agama Islam

Problematika Umat: Jika Imam Batal, Bagaimana Nasib Makmum?

Sudah maklum adanya bahwa shalat dapat dikerjakan secara berjamaah dan sendirian (munfaridan). Shalat berjama’ah mainimal terdiri dai dua orang. Satu berlaku sebagai imam yang berdiri die pan dan satunya lagi sebagai makmum brdiri dibelakang. Tidak ada batasan maksimal bagi makmum.ShaLat dianggap sah jika memenuhi sejumlah persyaratan (syuruthus shihah), rukun, dan terhindar dari hal-hal yang membatalkan shalat, seperti tiba-tiba terkena najis, atau menanggung hadats dan lain sebagainya,

Jika seseorang ditengah-tengah shalatnya melakukan atau terkena beberapa hal yang membatalkan shalat, maka shalatnya menjadi batal. Jika ia sholat sendirian ataupun jika menjadi makmum maka orang tersebut harus mengulanginya lagi sedari awal. Masalahnya adalah bagaimanakah jika kebetulan yang mengalami (batal) shalat tersebut adalah seorang imam? Apakah hal itu menjadikan batal pula shalat makmum? Lantas apakah shalat tersebut harus diteruskan tanpa Imam? Atau bagaimana?

Shalat makmum tidaklah menjadi batal karena batalnya sholat sang imam. Oleh karena itu ketika hal itu terjadi, makmum tidak boleh membatalkan sholatnya. Jika demikian maka makmum mempunyai dua langkah pilihan. Pertama makmum dapat meneruskan shalatnya dengan niat mufaraqah dari imam. Artinya makmum menerukan sholatnya secara sendirian (munfaridan) terpisah dari imam yang telah batal shalatnya. Kedua,makmum menyempurnakan shalat sampai selesai secara berjama’ah. Kalau mengambil alternatif terakhir kedua yang dipilih, maka harus ada istikhlaf. Itulah yang diterangkan dalam Bughyatul Mustarsyidin halaman 85.

Istikhlaf adalah penunjukkan pengganti imam dengan imam lain, yang karna satu sebab imam pertama tidak bisa menyempurnakan shalatnya. Istikhlaf pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab hadits.

Proses terjadinya istikhlaf mempunyai dua kemungkinan: imam menunjuk pengganti atau para makmum menunjuk pengganti. Dapat pula seseorang dengan inisiatif sendiri maju menjadi imam. Penunjukan khalifah oleh makmum dilakukan dengan isyarat, tanpa menimbulkan perbuatan yang membatalkan shalat. Dan harus dilakukan secepatnya, langsung setelah imam batal.

Istikhlaf ini sebaiknya dilakukan dari pihak makmum. Jika imam menunjuk pengganti dan makmum menunjuk pengganti yang lain, maka pilihan makmum lebih diutamakan. Bukankah hak rakyat menentukan pemimpinnya? Disinilah nilai demokrasi yang tertanam dalam fiqih. (mausu’atul Islami: VI.148)

Istikhlaf selain shalat jum’at hukumnya sunah, karena shalat berjama’ah lebih utama daripada sendirian. Dalam shalat Jum’at istikhlaf menjadi wajib hukumnya karena shalat jum’at tidak sah jika tidak dilakukan secara berjama’ah (Madzahibul Arba’ah: I, 447)

Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU

Problematika Umat: Bersuci Dengan Tissue

Islam merupakan agama yang sangat memperhatikan kebersihan. Telinga kita begitu akrab dengan an-nadhafatu minal iman, kebersihan merupakan sebagian dari iman. Atau at-thuhuru syartul iman, kesucian merupakan separoh dari keimanan. Namun demikian, seringkali realitas umat Islam kurang mencerminkan ajaran-ajaran semacam itu dalam kehidupan keseharian.Salah satu wujud perhatian Islam terhadap kebersihan dan kesucian itu adalah diwajibkannya istinja’ (bersuci) setelah buang air besar (taghawwuth) dan air kecil (baul). Shalat tidak sah tanpa istinja’ terlebih dahulu, selain wudhu kalau dalam keadaan hadats kecil, dan mandi jika dalam kondisi hadats besar.
Meski istinja’ pada hakikatnya menghilangkan najis yang keluar dari kemaluan dan anus, dalam praktiknya hal tersebut memiliki perbedaan. Yaitu alat yang digunakan tidak terbatas pada air, tetapi dapat pula dilaksanakan dengan batu, baik dalam kondisi tersedia air maupun tidak.

Berbeda dengan wudhu dan mandi, yang hanya dapat diganti dengan tayamum dalam kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya karena tidak ditemukan air. Diperbolehkannya istinja’dengan batu, mengandung hikmah yang besar dalam rangka menjamin kontinuitas pelaksanaan dan fungsi diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah SWT, dalam hal ini, shalat.

Seperti disebutkan di atas bahwa shalat tanpa istinja’ lebih dahulu tidak sah hukumnya. Dunia ini menurut para pakar, sebagian besar adalah lautan. Kurang lebih 85% dan sisanya daratan.

Jika kita amati, ternyata daratan yang hanya 15% itu kondisi perairannya berbeda-beda. Ada yang banyak, tetapi ada pula yang sedikit. Kalau istinja’ hanya dilakukan dengan air, tentu menimbulkan kesulitan bagi daerah-daerah yang sedikit air, seperti padang pasir di Timur Tengah atau daerah-daerah kering dan tandus.
Dengan diperkenankannya istinja’ dengan batu serta tayamum dengan debu, umat Islam tidak menemukan masalah dalam thaharah (kesucian), sehingga shalat dapat berjalan terus.

Kalau kata batu (hajar) diucapkan, pikiran kita tentu akan tertuju pada sosok benda keras yang kerap digunakan membuat pondasi bangunan atau membuat jalan. Dalam fikih, ternyata maknanya lebih luas. Sebab hajar dibedakan menjadi hajar hakiki dan hajar syar’i.

Adapun hajar hakiki adalah batu yang seperti kita kenal, sedangkan hajar syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta dapat menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori banda-benda muhtaram (dimuliakan atau berharga). Sebagai contoh, batu, kayu, tembok, keramik kasar, dan kulit hewan. Semua itu dinamakan hajar syar’i dan boleh untukistinja’. Dengan demikian, hajar syar’i disamakan dengan hajar hakiki lewat metode analogi atau qiyas. Maksud qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak diketahui hukumnya dengan sesuatu yang hukukmnya jelas, karena ada persamaan antara keduanya dalam illat(alasan terjadinya hukum).

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa perubahan besar dalam pola pikir dan pola sikap masyarakat. Gaya hidup mereka telah mengalami pergeseran-pergeseran sedemikian rupa, sehingga cenderung memilih sikap yang praktis dan mudah serta efisien, misalnya dalam masalah istinja’.

Pada tempat-tempat tertentu, seperti saat di pesawat atau tempat lain sudah tidak dipergunakan air sebagai alat bersuci, tetapi tissue. Banyak hotel yang tidak menyediakan air toiletnya, namun yang tersedia hanya tissue. Dengan asumsi tissue lebih praktis dan lebih nyaman, karena pakaian tetap kering.

Seperti diterangkan di atas bahwa istinja’ dapat dilakukan dengan air dan batu, baik hakiki maupun syar’i.  Tissue bukan air, bukan pula hajar hakiki. Pertanyaannya apakah dapat untuk istinja’?

Merujuk dari beberapa literature madzhab Syafi’i, seperti al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab,Syarqawi Syarh Tuhfatut Thullab, Bujairami Syarh Iqna’ dan lain-lain, tissue dapat digunakan untuk istinja’ dengan alasan bahwa tissue dianggap sebagai salah satu bentuk hajar syar’i. Yaitu benda benda padat (jamid), tidak najis, dan tidak muhtaram (dianggap mulia dan berharga), karena tidak terdapat tulisan di dalamnya. Jika terdapat tulisan dalam tissue (kertas) itu, maka tidak diperbolehkan menjadikannya sebagai alat istinja’ dengan alasan menghormati tulisan itu.

Satu hal yang harus diperhatikan adalah, kalau istinja’ memakai hajar hakiki atau syar’idisyaratkan tiga kali usapan, dan dapat membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap tiga kali dengan batu yang berbeda, ternyata belum bersih, harus ditambah hingga benar-benar bersih.

Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU

Problematika Umat: Shalat dengan Luka Berdarah

Keabsahan shalat bergantung pada terpenuhinya beberapa persyaratan. Satu di antaranya suci dari najis, baik badan pakaian maupun tempat. Kesucian ini dituntut sebagai perwujudan sikap ta’addub kepada Allah Swt. Dalam surat al-Mudattsir: 4 Ia berfirman:
Artinya: “Dan pakaianmu sucikanlah” (QS. Al-Mudattsir: 4)Pengertian najis sebagai dijelaskan dalam al-Fiqh al-Manhaji adalah segala sesuatu yang dianggap kotor yang bisa mencegah sahnya shalat (kullu mustaqzar yamna’us shihhas shalat).
Berangkat dari definisi ini, tidak semua yang nampak kotor secara otomatis dihukumi najis seperti debu. Dalam menentukan benda yang najis dan suci tidak bisa dengan akal dan perasaan semata. Tetapi harus berpegang dengan dalil naqli.

Para ulama sepakat (ijma’ atau konsensus) bahwa darah termasuk barang najis. Pendapat tersebut didasarkan dari Al-Quran surat Al-An’am. 145 sebagai berikut:
Artinya: “katakanlah, ‘Tiada aku peroleh dalam wahyu yang di wahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi. karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah…” (QS. Al-An,am:145) Selain darah, termasuk benda najis adalah urine, kotoran manusia atau hewan, bangkai dan lain-lain.

Seperti yang difahami bersama bahwa salah satu karakteristik agama Islam adalah mudah untuk dilaksanakandan tidak memberatkan (alyusr wa ’adamul haraj, al-samhah was sahlah). Karakteristik ini juga terlihat pada masalah najis, kaitannya dengan kebersihan shalat.

Dengan alasan kesulitan dihindari (li masyaqqatil ihtiraz), para ulama dalam kitab-kitab fiqih mengklasifikasikan najis menjadi dua: yaitu najis yang diampuni atau dimaafkan (al-ma’fuw) dan tidak diampuni (ghairul ma’fuw) najis kategori pertama tidak mencegah sahnya shalat.

Darah, salah satu benda najis, ada yang diampuni dan ada yang tidak diampuni. Dalam hal ini fuqaha secara kuantitatif membagi darah menjadi dua: sedikit dan banyak. Darah dalam jumlah sedikit dengan alasan susah dihindari  diampuni oleh syara’.

Terdapat beberapa menyangkut ukuran yang dipakai untuk menentukan banyak sedikitnya darah. Pendapat yang paling kuat mengatakan bahwa masalah tersebut dikembalikan pada anggapan masyarakat menganggap bahwa darah tersebut sedikit maka dihukumi sedikit, sebaliknya jika menganggap banyak maka dihukum banyak.
Menurut pendapat ini juga, kadar najis yang sulit dihindari dianggap sedikit, sedangkan yang mudah untuk dihindari dihukumi banyak.

Sebagian ulama lain membuat standar yang jelas, misalnya satu hasta (adz-zhira’), satu tapak tangan, seukuran kuku dan lain-lain. Jika melebihi ukuran kuku, menurut pendapat yang disebut terakhir, termasuk kategori banyak. Kalau kurang berarti sedikit. Semua pendapat ini boleh diikuti. (fathul jawad,13)

Darah yang berasal dari badan kita sendiri akibat menderita luka bisul, atau penyakit kulit yang lain diampuni meskipun jumlahnya banyak (Al-Iqna’.78), tetapi dengan tiga persyaratan. Pertama, bukan karena ulah kita sendiri (tidak disengaja). Kedua, tidak melampaui tempatnya, dalam artian tidak melewati anggota tubuh dimana luka tersebut berada. Maksudnya, jika luka terdapat dalam betis sampai paha. Kalau luka di tangan, tidak sampai ke pundak. Ketiga, darah tersebut tidak bercampur dengan benda lain.

Karena diampuni, maka darah yang keluar dari luka tidak mencegah sahnya shalat. Dan orang yang mempunyai luka bisa melakukan shalat seperti pada umumnya.

Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU

Problematika Umat: Hutang Kepada Orang yang Sudah Meninggal

Kematian adalah suatu keniscayaan bagi semua orang. Suatu saat kita pasti mengalaminya. Kematian bukanlah akhir dari suatu perjalanan kehidupan manusia, justru dengan kematian kehidupan lain di akhirat baru dimulai.Karena itu langkah terbaik adalah bagaimana semaksimal mungkin menjalankan ibadah dan amal saleh sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Kita beramal seakan-akan besok akan meninggal, dan mengerjakan kehidupan duniawi seakan-akan hidup selamanya. Dengan beitu niscaya akan tercapai keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat.
Harta bukanlah tujuan, tapi sarana mempertahankan hidup dan beribadah. Namun, banyak diantara kita yang berusaha mengantisipasi keadaan sepuluh tahun, lima puluh tahun bahkan seratus tahun yang akan datang, tanpa jarang yang mengantisipasi kehidupan akhirat.

Sehubungan dengan harta, hutang-piutang merupakan salah satu hal penting yang dibahas dalam fiqih. Karena dalam sebuah hadits diterangkan bahwa Rasulullah Saw. tidak mau meshalati jenazah yang masih menanggung utang. Karena orang yang meningal masih dalam keadaan menanggung utang, di akhirat kelak akan dituntut dan dimintai pertanggung jawaban.
Oleh karena itu setiap muslim harus berusaha sekuat tenaga melunasi hutang-hutangnya. Kalau memang tidak mampu, hendaknya meminta kerelaan dain (pihak yang menghutangi) untuk membebaskannya. Dalam istilah fiqih hal ini disebut dengan istilah ibra’.

Kewajiban membayar hutang tidak gugur meski dain telah meninggal. Sebab dengan kematian akan terjadi proses pewarisan atau peralihan kepemilikan dari si jenazah kepada ahli warisnya. Termasuk harta yang diwariskan adalah hutang-hutang yang diberiakn kepada si jenazah kepada orang lain semasa hidupnya.
Dengan demikian, madin (pihak yang berhutang) diwajibkan  membayar hutangnya kepada ahli waris almarhum atau almarhumah. Adalah beban madin untuk berusaha mencari mereka guna membayar hutang.

Pertanyaannya , bagaimana jika ahli waris tidak diketahui tempatnya? Seandainya semua ahli waris tidak ditemukan, dan madin pun tampak putus asa, tidak ada harapan sama sekali, kondisi ini tidak secara otomatis menggugurkan kewajiban. Dia masih terbebani melunasinya. Bagaimana caranya? Hal itu diatur dalam kitab Bughyatul Mustarsyidin, yakni dengan menyerahkan hutang itu untuk kepentingan umat Islam.

Jika didaerahnya kebetulan ada usaha pembangunan masjid atau madrasah, hutang tersebut bisa disumbangkan. Meski jumlahnya mungkin tak seberapa dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan untuk pembangunan itu. Karena yang penting, si madin menemukan saluran untuk melunasi utangnya.
Dalam hukum hutang-piutang, bila utang beras 10 kilogram, maka membayarnya juga dengan jumlah dan kualitas yang sama pula. Hutang seratus ribu rupiah membayarnya juga seratus  ribu rupiah. Itu adalah kewajiban dan ketentuan minimal. Dalam suatu hadis Rasulullah Saw. bersabda:

Artinya: “sesungguhnya yang terbaik diantara kalian adalah yang paling baik dalam membayar hutang” (Muttafaq Alaihi)

Membayar hutang dengan baik, artinya membayar degan jumlah lebih besar atau dengan kualitas lebih baik, disamping tidak mengulur-ulur waktu kalau pada kenyataanya telah sanggup melunasi. Hanya saja, harus diingat, tambahan yang dibayarkan haruslah dilakukan dengan sukarela dan tidak di syaratkan pada saat akad peminjaman dilakukan. Hal itu betul-betul berdasarkan ketentuan dari si madin. Sebab kalau diwajibkan atau di syaratkan pada saat akad, maka hukumnya malah menjadi haram. Sebab,  hal itu termasuk praktek riba, yang nyata-nyata diharamkan Islam, karena berlawanan dengan semangat saling membantu dan persaudaraan, at-ta’awun wa al-ukhuwah.

Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU

problematika ummat : Siapakah Mahram (muhrim) itu?

Suatu hal yang wajar apabila setiap manusia mempunyai keinginan agar semua kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi, termasuk didalamnya kebutuhan biologis (seks). Namun bukan berarti dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan hidup kemudian segala hal ditempuh tanpa memperhatikan aturan-aturan serta hukum yang terdapat dalam agama atau lainnya.Pemenuhan kebutuhan biologis dengan melalui zina bagaimanapun adalah perbuatan yang dilarang dan sangat dikutuk oleh agama,baik dia dilakukan dengan suka sama suka atau dengan pemaksaan (pemerkosaan). Dalam Al-Quran disebutkan dengan jelas:

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلًا

Artinya: ”Dan janganlah kamu mendekati zina sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk” (QS. Al-Isra’: 32)

Agama islam sebenarnya telah mengatur serta menyediakan jalan untuk menyalurkan hasrat kebutuhan biologis yang aman serta diridhai oleh Allah, yaitu dengan melalui pernikahan.
Pernikahan adalahsebuah akad yang di dalamnya mencakup bolehnya mengambil kenikmatan antara kedua belah pihak menurut syariat.

Lebih dari itu pernikahan merupakan sunnah Rasul. Oleh karenanya ia merupakan salah satu bentuk ibadah apabila dimotivasi oleh sunah Rasul tersebut.
Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi untuk dilakukan pernikahan, di antaranya ada mempelai laki-laki dan perempuanyang bukan mahram, ada akad yang dilakukan sendiri oleh wali atau wakilnya, ada dua orang saksi dan ada mahar (maskawin).

Lantas siapakah perempuan mahram itu? Mahram adalah perempuan yang haram untuk dinikahi dengan beberapa sebab. Keharaman dikategorikan menjadi dua macam, pertama hurmah mu’abbadah (haram selamanya) dan kedua hurmah mu’aqqatah (haram dalam waktu tertentu).

Hurmah mu’abbadah terjadi dengan beberapa sebab yakni, kekerabatan, karena hubungan permantuan (mushaharah) dan susuan. Perempuan yang haram dinikahi karena di sebabkan hubungan kekerabatan ada 7 (tujuh), ibu, anak permpuan, saudara perempuan, anak perempuannya saudara laki-laki (keponakan), anak perempuannya saudara perempuan (keponakan), bibi dari ayah, dan yang terahir bibi dari ibu. Dalam Al-Quran disebutkan:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ وَعَمَّاتُكُمْ وَخَالاَتُكُمْ وَبَنَاتُ اْلأَخِ وَبَنَاتُ اْلأُخْتِ وَأُمَّهَاتُكُمُ اللاَّتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ وَأُمَّهَاتُ نِسَائِكُمْ وَرَبَائِبُكُمُ اللاَّتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاَّتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَإِنْ لَمْ تَكُونُوا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ وَحَلاَئِلُ أَبْنَائِكُمُ الَّذِينَ مِنْ أَصْلاَبِكُمْ

Artinya: “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan seper susuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua permpuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa: 23)

Ketentuan ini berlaku bagi laki-laki. Dan bagi perempuan berlaku sebaliknya, yaitu haram bagi mereka menikahi ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki dan seterusnya.
Selanjutnya, perempuanyang haram dinikahi karena disebabkan hubungan permantuan ada 4 (empat) yaitu istri ayah, istri anak laki-laki, ibunya istri (mertua) dan anak perempuannya istri (anak tiri).

Kemudian yang haram dinikahi sebab persusuan ada 7 (tujuh) yaitu, ibu yang menyusui, saudara perempuan susuan, anak perempuan saudara laki-laki susuan, anak perempuan saudara perempuan susuan, bibi susuan (saudarah susuan ayah), saudara susuan ibu dan anak perempuan susuan (yang menyusu pada istri).

Apabila pernikahan dengan perempuan yang menjadi mahram tetap dilakukan maka pernikahannya menjadi batal. Bahkan apabila tetap dilanggar dan dilanjutkan akan bisa mengakibatkan beberapa kemungkinan yang lebih berat.

Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU

PCI NU Malaysia Menggalang Dana untuk Pembangunan Markaz

Kuala Lumpur, NU Online
Peringatan Maulid Rosul yang dilaksanakan oleh PCI NU Malaysia pada Ahad tanggal 26 Februari lalu berjalan cukup khidmat dan meriah. Acara yang dihadiri oleh lebih dari 1500 warga NU di Malaysia diadakan di Payajaras Sungai Buluh, salah satu ranting PCI NU Malaysia.

Acara dimeriahkan oleh beberapa group shalawat antara lain group dari ranting Payajaras, group Shalawat Balakong dan Gambus. Lantunan-lantunan shalawat yang ditampilkan membuat suasana acara serasa diselenggarakan di Indonesia.

Selain dihadiri oleh Katib Aam PBNU KH Malik Madany, acara juga dihadiri oleh anggota Dewan Undangan Negeri (Parlemen di Malaysia) Sungai Buloh.

Ahmad Mu’idi dalam sambutannya mensosialisasikan tentang telah resminya status hukum PCI NU Malaysia, sekaligus menyampaikan beberapa rancangan program yang akan dijalankan NU ke depannya.

Mu’idi juga menyampaikan setelah NU diiktiraf menjadi Pertubuhan atau mendapatkan status hukum dari pemerintah Malaysia, kepengurusan sekarang sangat optimis dapat mewujudkan markaz (sekretariat), di mana pada kepengurusan sebelumnya rencana ini sudah dimulai. Markaz ini nantinya tidak hanya berfungsi sebagai sekretariat NUCIM, namun lebih pada pusat dakwah dan pendidikan bagi masyarakat Muslim Indonesia di Malaysia, khususnya warga Nahdlatul Ulama.

Di tengah sambutannya, Ketum PCI NU Malaysia meminta kepada para jama’ah berpartisipasi dalam pembangunan markaz. Kemudian diiringi lantunan shalawat Mu’idi mulai memberikan isyarakat kepada pengurus lain untuk menyebarkan kotak amal, sebagai tanda penggalangan dana untuk Markaz di periode kepengurusan sekarang mulai digalakkan lagi.

Hasil penggalangan dana dalam acara tersebut setelah dirupiahkan terkumpul Rp. 6.224.000,-. Bendahara PCI NU Malaysia, H. Nasihin menyatakan hasil dari penggalangan dana dalam acara ini sangat membanggakan, bukan hanya dari jumlahnya namun lebih kepada apresiasi para warga untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan markaz ini.

“Perlu diketahui, pada kepengurusan sebelumnya melalui distribusi kupon dana yang terkumpul hampir mencapai 15 juta rupiah,” tutur Nasihin.

Sementara KH Malik Madany MA (Katib Am Syuriah PBNU) memberikan tausiyah dalam acara ini. Dalam tausiyahnya beliau menyampaikan bahwa tidak ada perbedaan antara masyarakat Indonesia maupun Malaysia dalam hal menjalin ukhuwah. Apalagi masyarakat kita sama-sama Muslim. Jadi tidak ada alasan bagi kita untuk selalu mempererat dan mengokohkan tali persaudaraan meskipun kita berbeda negara.

Lebih mendalam Katib Aam PBNU ini mengupas lebih dalam tentang Dzikir. “Dzikir dibagi menjadi dua bentuk, yaitu dzikir ritual seperti ibadah shalat, mengaji dan puasa. Sementara dzikir yang ke dua adalah dzikir aktual. Dzikir aktual dimaknakan dengan pola hidup manusia dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam lingkungan keluarga, perkawanan dan pekerjaan”.

Sementara Kiai Liling Sibromalisi, Rais Syuriyah PCI NU Malaysia, menyampaikan rasa syukur yang mendalam. Karena beliau menilai bahwa semenjak memiliki status badan hukum yang jelas antusias warga terhadap NU sekarang ini semakin tinggi. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya orang yang membantu mensukseskan acara ini, dan mulai menanyakan prosedur untuk menjadi anggota organisasi.

“Tidak hanya itu, untuk acara pelantikan dan pengajian akbar yang akan dihadiri oleh KH. Said Aqil Siroj pada 29 Maret 2012 nanti, tiga ranting seperti Balakong, Gombak, dan Kg. Pandan bersedia menjadi penyelenggara. Hal tersebut tentu berpengaruh terhadap psikologis pengurus. Dan menjadi faktor motivasi bagi kepengurusan untuk lebih bersemangat dalam memajukan organisasi NU di Malaysia ini”, tutur Kiai Liling.

Redaktur    : Mukafi Niam
Kontributor: Umar Halim

Cara Jin Beragama

Ubudiyah – Cara Jin Beragama

Salah satu diantara nama-nama Allah Swt. Yang berjumlah 99 (Sembilan puluh Sembilan) atau yang dikenal dengan sebutan Al-Asma’ Al-Husna adalah Al-Khaliq, artinya dialah yang menciptakan.
Ciptaan-Nya meliputi segala sesuatu, baik itu berupa hal-hal yang nampak oleh mata seperti manusia, hewan, tumbuhan dan alam seisinya ini, maupun keberadaan yang tidak bisa dilihat oleh mata seperti malaikat, surga, neraka dan lain-lain. Termasuk dari mekhluk-Nya yang tidak terlihat oleh mata adalah jin.Jin adalah makhluk ciptaan Allah Swt. Yang berbeda dengan manusia dari asal ciptaanya. Jin dicptakan oleh Allah Swt. Dari api sedangkan manusia diciptakan dari tanah.
Allah berfirman dalam surat Ar-Rahman ayat 15:

وخلق الجان من مارج من نار

Artinya: “Dan dia telah menciptakan jin dari nyala api” (QS. Ar-Rahman ayat: 15)

Demikian pula dalam surat Al-Mu’minun ayat 12 Allah Swt. Menegaskan:

ولقد خلقنا الانسان من سلالة من طين

Artinya: “Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu sari pati dari tanah” (QS. Al-Mu’minun:12)

Sebagai salah satu makhluk Allah Swt. yang tidak terlihat, jin memiliki berbagai kemampuan yang tidak dimiliki oleh manusia, antara lain kemmpuan untuk mengubah wujudnya menjadi berbagai macam bentuk menyerupai manusia dan binatang seperti ular, keledai, unta, sapi dan lain-lain. Hal itu seperti sebuah kisah yang dialami oleh sayyidah Aisyah bahwa beliau melihat seekor ular dalam rumahnya. Kemudin beliau memerintakan untuk membunuh ular tersebut. Akhirnya ular itu pun terbunuh, dan tak lama kemudian beliau diberi tahu bahwa:

إنها من النفر الذين استمعوا الوحي من النبي

(ular tersebut adalah termasuk dari golongan yang pernah mendengarkan wahyu dari nabi (golongan jin).

Setelah mengerti akan hal itu beliaupun mengutus seseorang untuk pergi ke Yaman untuk membeli 40 (empat puluh) budak guna memerdekakan.
Juga ada jin yang mampu memindahkan sesuatu dalam waktu yang singkat. Hal itu seperi yang diceritakan dalam Al-Quran pada masa Nabi Sulaiman bahwa Ifrit yang termasuk salah satu jin sanggup untuk memindahkan singgasana Ratu Bilqis sebelum Nabi Sulaiman berdiri dari tempt duduknya.

Meskipun jin itu berbeda dalam hal asal penciptaanya, tetapi dia juga mkhluk Allah Swt. Yang tujuan dari penciptaannya sama dengan tujuan penciptaan manusia, yaitu tidak lain supaya beribdah kepada Allah. Hal itu sesuai dengan firman Allah Swt.dalam surat Adz-Dzariyat, 56:

وماخلقت الجن والإنس إلا ليعبدون

Artinya: “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembah-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Oleh karna itu seperti manusia, jin juga mukallaf (dibebani) untuk menjalankan perintah Allah dan menjahui segala yang dilarang-Nya.
Dalam hal ini mereka juga mendapatkan pahala apabila melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang di perintahkan oleh Allah Swt. Dan akan disiksa apabila melanggar aturan yang di gariskan.

Jadi, karena mereka semua mukallaf seperti manusia, Allah Swt. Juga mengutus kepada mereka utusan yang akan menyampaikan wahyu.
Para ulama mempunyai pedapat yang sama bahwa risalah nabi kita Muahammad Saw. Tidak hanya terbatas pada manusia saja, melainkan juga mencakup jin, bahkan ada yang mengatakan sampai kepada semua makhluk hidup.

Dalam Al-Quran surat A-Jin di jelaskan
Artinya: “katakanlah telah diwahyukan kepadaku (Nabi Muhammad) bahwasanya sekumpulan jin telah mendengarkan Al-Quran menakjubkan(yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan tuhan kami” (QS. Al-Jin: 1-2)

Dalam kitab Al-Asybah wan Nazhair juga disebutkan:

والنبي صلى الله عليه وسلم مرسل اليهم

Artinya: “Bahwasanya nabi Muhammad diutus kepada mereka (bangsa jin)

Jadi, diantara mereka  (bangsa jin) juga ada yang melakukan shalat dan syariat-syariat  lain yang telah dibawa Nabi Muhammad Saw.
Kesimpulan akhirnya bahwa jin yang beriman kepada Allah Swt. Sebagai Tuhannya  dan Muhammad Saw. sebagai utusan-Nya yang terakhir sekaligus menyempurnakan risalah-risalah utusan sebelumnya akan berpegang pada Al-Quran dan hadis sebagai pedoman hidup.

Sumber: KH.MA. Sahal Mahfudh. Dialaog Problematika Umat. Surabaya: Khalista & LTN PBNU(sumber)

Habib Abu Bakar bin Muhammad bin Umar bin Abu Bakar bin Al-Habib Umar bin Segaf as-Segaf

Habib Abu Bakar

Habib Abu Bakar

Habib Abu Bakar bin Muhammad bin Umar bin Abu Bakar bin Al-Habib Umar bin Segaf as-Segaf adalah seorang imam di lembah Al-Ahqof. Garis keturunannya yang suci ini terus bersambung kepada ulama dari sesamanya hingga bermuara kepada pemuka orang-orang terdahulu, sekarang dan yang akan datang, seorang kekasih nan mulia Nabi Muhammad S.A.W .

Silsilah beliau adalah : Habib Abubakar bin Muhammad bin Umar bin Abubakar bin Imam Wadi Al-Ahqaf Umar bin Segaf bin Muhammad bin Umar bin Toha bin Umar Ash-Shofi bin Abdurrahman bin Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawiliyah bin Ali bin Alwi Al-Ghuyyur bin Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Sahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin ‘Ubaidillah bin Ahmad Al- Muhajir bin ‘Isa bin Muhammad An- Naqib bin Ali-‘Uraidhi bin Husein bin Ali bin Abi Thalib suami Fatimah Az- Zahra binti Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasalam.

Habib Abu Bakar terlahir di kampung Besuki (salah satu wilayah di kawasan Jawa Timur) tahun 1285 H. Ayahnya wafat di kota Gresik, sementara ia masih berumur kanak-kanak. Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf tumbuh besar dalam asuhan dan penjagaan yang sempurna. Cahaya kebaikan dan kewalian telah tampak dan terpancar dari kerut-kerut wajahnya, sampai-sampai di usianya ke-3 tahun mampu mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi pada dirinya. Semua itu tak lain karena power (kekuatan) dan kejernihan rohaninya, serta kesiapannya untuk menerima curahan anugerah dan Fath (pembuka tabir hati) darinya.

Tahun 1293 H., atas permintaan neneknya yang sholehah Fatimah binti Abdullah (Ibunda ayahnya), ia merantau ditemani oleh al-Mukaram Muhammad Bazamul ke Hadramaut meninggalkan tanah kelahirannya, Jawa. Di kala Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf akan sampai di kota Sewun, ia di sambut di perbatasan kota oleh paman sekaligus gurunya yakni Habib Abdullah bin Umar berikut para kerabat.

Dan yang pertama kali dilantunkan oleh sang paman bait qosidah Habib al-Arifbillah Syeh bin Umar bin Segaf seorang yang paling alim di kala itu dan menjadi kebanggaan pada jamannya. Dan ketika telah sampai ia dicium dan dipeluk oleh pamannya. Tak elak menahan kegembiraan atas kedatangan sang keponakan dan melihat raut wajahnya yang memancarkan cahaya kewalian dan kebaikan berderailah air mata kebahagiaan sang paman membasahi pipinya.

Hati para kaum arifin memiliki ketajaman pandang. Mampu melihat apa yang tak kuasa dilihat oleh pemandang. Perhatian dan didikan sang paman telah membuahkan hasil yang baik pada diri sang keponakan. Ia belajar kepada sang paman Habib Abdullah bin Umar ilmu fiqh dan tasawuf, sang paman pun suka membangunkannya pada akhir malam ketika masih berusia kanak-kanak guna menunaikan shalat tahajjud bersama-sama, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mempunyai hubungan yang sangat kuat dalam menimba ilmu dari para ulama dan pemuka kota Hadramaut. Mereka (para ulama) telah mencurahkan perhatiannya pada Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf.

Maka Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf banyak menerima dan memperoleh ijazah dari mereka. Diantara para ulama terkemuka Hadramaut yang mencurahkan perhatian kepadanya, adalah Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi, (seorang guru yang sepenuhnya mencurahkan perhatiannya kepada Al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf).

Habib Ali bin Muhammad Alhabsyi telah menaruh perhatian kepada Al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf semenjak masih berdomisili di Jawa sebelum meninggalkannya menuju Hadramaut.

Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi berkata kepada salah seorang murid seniornya, “Perhatikanlah! Mereka bertiga adalah para wali, nama, haliyah, dan maqom (kedudukan) mereka sama. Yang pertama adalah penuntunku nanti di alam barzakh, ia adalah Quthbul Mala Habib Abu Bakar bin Abdullah Al-Aidrus, yang kedua, aku melihatnya ketika engkau masih kecil ia adalah Habib Al-Ghoust Abu Bakar bin Abdullah al-Atthos, dan yang ketiga engkau akan melihat sendiri nanti di akhir dari umurmu.”

Tatkala memasuki tahun terakhir dari umurnya, ia bermimpi melihat Rosulullah S.A.W. sebanyak lima kali berturut-turut selama lima malam, sementara setiap kali dalam mimpinya Rasulullah S.A.W. mengatakan kepadanya (orang yang bermimpi) : “ Lihatlah di sampingmu, ada cucuku yang sholeh Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ” ! Sebelumnya orang yang bermimpi tersebut tidak mengenal Habib Abu Bakar Assegaf kecuali setelah dikenalkan oleh Baginda Rasul Al-Musthofa S.A.W. didalam mimpinya. Lantas ia teringat akan ucapan Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi dimana beliau pernah berkata “Mereka bertiga adalah para wali, nama dan kedudukan mereka sama “. Setelah itu ia (orang yang bermimpi) menceritakan mimpinya kepada Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf dan tidak lama kemudian ia meninggal dunia.

Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf mendapat perhatian khusus dan pengawasan yang istimewa dari gurunya Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi sampai-sampai Habib Ali sendiri yang meminangkan dan sekaligus menikahkannya. Selanjutnya (diantara para masyayikhnya) adalah Habib Abdullah bin Umar Assegaf sebagai syaikhuttarbiyah, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi sebagai syaikhut taslik, juga Habib Abdul Qadir bin Ahmad bin Quthban sebagai syaikhul fath. Guru yang terakhir ini sering memberi berita gembira kepadanya, ”Engkau adalah pewaris haliyah kakekmu Habib Umar bin Segaf.”

Sekian banyak para ulama para wali dan para kaum sholihin Hadramaut baik itu yang berasal dari Sewun, Tarim dan lain-lain yang menjadi guru Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, seperti Habib Muhammad bin Ali Assegaf, Habib Idrus bin Umar al-Habsyi, Habib Ahmad bin Hasan al-Atthas, Habib Abdurrahman Al-Masyhur, juga puteranya Habib Ali bin Abdurrahman Al-Masyhur, dan juga Habib Syekh bin Idrus Al-Idrus dan masih banyak lagi guru-guru yang lainnya.

Pada tahun 1302 H, ditemani oleh Habib Alwi bin Segaf Assegaf , Habib Abu Bakar Assegaf pulang ketanah kelahirannya (Jawa) tepatnya di kampung Besuki. Selanjutnya pada tahun 1305 H, ketika itu berumur 20 tahun beliau pindah ke kota Gresik sambil terus menimba ilmu dan meminta ijazah dari para ulama yang menjadi sinar penerang negeri pertiwi Indonesia, sebut saja Habib Abdullah bin Muhsin Al-Atthas, Habib Abdullah bin Ali Al-Haddad, Habib Ahmad bin Abdullah Al-Atthas, Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya, Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi, Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdlar, dan lain sebagainya.

Kemudian pada tahun 1321 H, tepatnya pada hari jum’at ketika sang khatib berdiri diatas mimbar beliau mendapat ilham dari Allah S.W.T. bergeming dalam hatinya untuk mengasingkan diri dari manusia semuanya. Terbukalah hatinya untuk melakukannya, seketika setelah bergeming ia keluar dari masjid jami’ menuju rumah kediamannya. Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf ber-uzlah atau khalwat (mengasingkan diri) dari manusia selama lima belas tahun bersimpuh dihadapan Ilahi Rabbi. Dan tatkala tiba saat Allah mengizinkan ia untuk keluar dari khalwatnya, gurunya Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi mendatanginya dan memberi isyarat kepadanya untuk mengakhiri masa khalwatnya, Habib Muhammad Al-Habsyi berkata : “Selama tiga hari kami bertawajjuh dan memohon kepada Allah agar Abu Bakar bin Muhammad Assegaf keluar dari khalwatnya”, lantas ia menggandeng Habib Abu Bakar Assegaf dan mengeluarkannya dari khalwatnya. Kemudian masih ditemani Habib Muhammad Al-Habsyi menziarahi Habib Alawi bin Muhammad Hasyim, setelah itu meluncur ke kota Surabaya menuju ke kediaman Habib Abdullah bin Umar Assegaf. Sambil menunjuk kepada Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi memproklamirkan kepada para hadirin “ Ini Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf termasuk mutiara berharga dari simpanan keluarga Ba’Alawi, kami membukanya agar bisa menularkan manfaat bagi seluruh manusia”.

Setelah itu ia membuka majlis ta’lim dirumahnya, ia menjadi pengayom bagi mereka yang berziarah juga sebagai sentral (tempat rujukan) bagi semua golongan diseluruh penjuru, siapa pun yang mempunyai maksud kepadanya dengan dasar husnudz dzan niscaya ia akan meraih keinginannya dalam waktu yang relatif singkat. Di rumahnya sendiri, Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf telah menghatamkan kitab Ihya’ Ulumuddin lebih dari 40 kali.

Pada setiap kali hatam ia selalu menghidangkan jamuan yang istimewa. Habib Abu Bakar Assegaf betul-betul memiliki ghirah (antusias) yang besar dalam menapaki aktivitas dan akhlaq para aslaf (pendahulunya), terbukti dengan dibacanya dalam majlisnya sejarah dan kitab-kitab buah karya para aslafnya.

Adapun maqom (kedudukan) Al-Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf, telah mencapai tingkat Shiddiqiyah Kubro. Hal itu telah diakui dan mendapat legitimasi dari mereka yang hidup sezaman dengannya. Berikut ini beberapa komentar dari mereka.

Habib Muhammad bin Ahmad Al-Muhdhar berkata : ”Demi fajar dan malam yang sepuluh dan yang genap dan yang ganjil. Sungguh al Akh Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah mutiara keluarga Segaf yang terus menggelinding (maqomnya) bahkan membumbung tinggi menyusul maqom-maqom para aslafnya.”

Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad berkata :”Sesungguhnya Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah seorang Quthb al Ghaust juga sebagai tempat turunnya pandangan (rahmat) Allah SWT.”

Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi pernah berkata di rumah Habib Abu Bakar Assegaf dikala ia membubuhkan tali ukhuwah antaranya dengan Habib Abu Bakar Assegaf, pertemuan yang diwarnai dengan derai air mata. Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi berkata kepada para hadirin ketika itu : “Lihatlah kepada saudaraku fillah Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf. Lihatlah ia..! Maka melihat kepadanya termasuk ibadah.”

Habib Husein bin Muhammad Al-Haddad berkata :”Sesungguhnya Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf adalah seorang khalifah. Ia adalah penguasa saat ini, ia telah berada pada Maqom As Syuhud yang mampu menyaksikan (mengetahui) hakekat dari segala sesuatu. Ia berhak untuk dikatakan “Dia hanyalah seorang hamba yang kami berikan kepadanya (sebagai nikmat).”

Kalam salaf Habib Abu Bakar bin Muhammad Assegaf diantaranya…. “Keberkahan majlis bisa diharapkan bila yang hadir beradab dan duduk di tempat yang mudah mereka capai. Jadi keberkahan majlis itu pada intinya adalah adab, sedangkan adab dan pengagungan itu letaknya di hati. Oleh karena itu, wahai saudara-saudaraku, aku anjurkan kepada kalian, hadirilah majlis-majlis kebaikan. Ajaklah anak-anak kalian ke sana dan biasakan mereka untuk mendatanginya agar mereka menjadi anak-anak yang terdidik baik, lewat majlis-majlis yang baik pula.

Sekarang ini aku jarang melihat para pelajar yang menghargai ilmu. Banyak ku lihat mereka membawa mushhaf atau kitab-kitab ilmu lainnya dengan cara tidak menghormatinya. Lebih dari itu mereka mendatangi tempat-tempat pendidikan yang tidak mengajarkan kepada anak-anak kita untuk mencintai ilmu, tapi mencintai nilai semata-mata …… Aku pun teringat pada nasihat Habib Ahmad bin Hasan al-’Aththas: “Ilmu adalah alat. Meskipun ilmu itu baik, ia hanya alat, bukan tujuan. Oleh kerananya, ilmu harus diiringi adab, akhlak dan niat-niat yang shalih. Ilmu demikianlah yang dapat mengantarkan seseorang kepada ketinggian maqam ruhaniah.”

Para auliya’ bersepakat, bahwa Maqam Ijtima’ (bertemu) dengan Nabi SAW dalam waktu terjaga, adalah sebuah maqam yang melampaui seluruh maqam yang lain. Hal ini tidak lain adalah buah dari Ittiba’ (keteladanan) beliau yang tinggi terhadap Nabinya SAW. Adapun kesempurnaan Istiqamah merupakan puncak segala karamah. Seorang yang dekat dengan beliau berujar bahwa aku sering kali mendengar beliau mengatakan:

“Aku adalah Ahluddarak, barang siapa yang memohon pertolongan Allah melaluiku, maka dengan izin Allah aku akan membantunya, barang siapa yang berada dalam kesulitan lalu memanggil-manggil namaku maka aku akan segera hadir di sisinya dengan izin Allah”.

Pada saat menjelang ajalnya, seringkali beliau berkata “Aku berbahagia untuk berjumpa dengan Allah” maka sebelum kemangkatannya ke rahmat Allah, beliau mencegah diri dari makan dan minum selama lima belas hari, namun hal itu tak mengurangi sedikitpun semangat ibadahnya kepada Allah SWT. Setelah ajal kian dekat menghampirinya, diiringi kerinduan berjumpa dengan khaliqnya, Allah pun rindu bertemu dengannya, maka beliau pasrahkan ruhnya yang suci kepada Tuhannya dalam keadaan ridho dan diridhoi

Di saat terakhir hayatnya Habib Abubakar bin Muhammad Assegaf melakukan puasa selama 15 hari. Beliau wafat pada hari Ahad malam Senin, hari ke tujuh belas di bulan Dzulhijjah 1376 H, dalam usia 91 tahun, dimakamkan di pemakaman Masjid Jami’ Alun-Alun, Greasik, Jawa Timur.

sumber Artikel

Enam Rahasia Allah – Imam Nawawi AlBantany

Imam Nawawi AlBantany pengarang kitab Nashoihul Ibad menuliskan di dalam bukunya, ada enam rahasia Allah atas rahasia lainnya :

1. Allah merahasiakan ridho-Nya atas taat seorang hamba

Maksudnya ialah Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk senantiasa taat kepada Allah, sekecil apapun taat yang dilakukan oleh seorang Hamba pastilah akan diberi ganjaran oleh Allah SWT,  Allah merahasiakan ridho-Nya dalam ketaatan yang dilakukan oleh seorang hamba, agar hamba itu mau berusaha menambah ketakwaan kepada Allah meskipun pada hal yang sederhana, kita tidak pernah tahu kapan Allah memberikan ridho-Nya, bisa boleh jadi pada hal-hal yang kita anggap kecil dan sederhana.

2. Allah merahasiakan murka atas maksiat seorang Hamba

Ketika umat Nabi Musa melakukan kemaksiatan, maka saat itu juga balasan Allah baik berupa siksa maupun azab akan ditimpakan langsung, begitu juga umat nabi-nabi lainnya, tapi beruntunglah kita yang menjadi umat Nabi Muhammad SAW, karena setiap hari kita berbuat maksiat, melanggar perintah dan mengerjakan larangan Allah, namun Allah tidak langsung menimpakan azab dan musibah kepada kita. Mengapa Allah merahasiakan murka-Nya atas maksiat yang kita kerjakan, ini berarti ketika hidup kita harus selalu berhati-hati dan selalu waspada, jangan-jangan Allah SWT murka manakala hari ini kita berbuat bohong, jangan-jangan Allah murka manakala kita melanggar rambu lalu lintas, menyebrang di sembarang tempat, sholat tidak tepat waktu, tanpa sengaja tergelincir dalam membicarakan orang lain, lupa membaca basmalah sebelum melakukan aktifitas, hal inilah sepantasnya kita harus tanamkan, ketika kita sudah mampu berhati-hati dan waspada takut-takut kalau Allah murka atas sikap dan perilaku kita, maka sesungguhnya kita telah menjadi mukmin yang sejati.

3. Allah merahasiakan malam Lailatul Qadar di dalam bulan ramadhan

Ramadhan adalah bulan yang menyimpan seribu hikmah dan pahala, apapun yang kita kerjakan di bulan suci ini kalau kita niatkan semata-mata  untuk mencari keridhoan Allah maka akan dilipatgandakan pahalanya. Pada sepuluh malam terkahir di Bulan Ramadhan kita ketahui bersama bahwa Allah akan menurunkan malam Lailatul Qadar. Kenapa sih Allah harus merahasiakannya??? Tentu jawabannya agar kita mau bersungguh mencari dan mendapati malam Lalilatul Qadar dengan penuh semangat.

4. Allah merahasiakan Wali-Nya diantara manusia

Hikmahnya agar kita tidak mudah meremehkan dan menyepelekan orang yang ada di sekitar kita, boleh jadi orang yang selama ini kita anggap biasa saja, bahkan mungkin dia bukan dari golongan orang kaya ataupun keturunan terpandang, tetapi karena amalan ibdahnya yang begitu ikhlas dan tulus dikerjakan ternyata dia adalah seorang kekasih Allah (Wali Allah), maka kita tidak pernah diberi tahu siapa saja yang menjadi kekasih Allah di muka bumi ini selain Para Nabi dan Rasul Allah yang telah terpilih.

5. Allah merahasiakan maut di dalam umur

Adakah makhluk di muka bumi ini yang tahu kapan dia akan meninggal??? Jawabannnya sudah pasti tidak ada yang tahu. Bahkan rasululullah saja tidak diberitahu pada usia dan dimana dia akan dijemput oleh malakal maut. Oleh karena itu kita yang masih diberikan umur panjang oleh Allah hendaklah menjadikan maut itu sebagai nasehat yang sangat berarti, kapan maut itu akan datang kita tidak pernah tahu, apakah hari ini, esok, lusa minggu depan, bulan depan ataukah tahun depan, Hanya lah Allah yang maha tahu.

6. Allah merahasiakan Shalat yang utama diantara sholat-sholat wajib

Ternyata di setiap hari yang kita lalui ada sholat utama yang diberikan oleh Allah kepada semua hamba-Nya, tugas kita adalah mencari waktu-waktu utama itu dengan bersungguh-sungguh mengerjakan sholat lima waktu.

sumber artikel

 

Tanya Jawab Seputar Kedudukan Rosulullah SAW , Dengan Mufti Mesir

Syaikh Dr. Ali Jum’ah al-Syafi’i  ” Tanya Jawab Seputar Kedudukan Rosulullah SAW”

Dr. Ali Jum'ah al-Syafi'iDr. Ali Jum’ah al-Syafi’i adalah Mufti resmi Republik Arab Mesir. Beliau bermazhab Syafi’i dalam fikih dan menganut faham Asy’ariyah dalam akidah. Beliau juga mengajar ushul fiqh di universitas al-Azhar dan masih rutin memberikan pengajian fikih dan tasawuf di berbagai masjid dan majelis ta’lim. Di bawah ini beberapa tanya jawab umat bersama Dr. Ali Jum’ah seputar kedudukan Rasulullah Saw. Diterjemah secara singkat dari buku “al-Bayan Lima Yusyghil al-Adzhan” cetakan al-Muqattham Kairo Mesir.

Apakah Saidina Muhammad Saw. adalah ciptaan Allah yang paling mulia nasabnya? Apa dalilnya?
Saidina Muhammad Saw. adalah manusia teragung sebagaimana sabdanya “Aku adalah penghulu seluruh manusia, dan akupun tidak bangga“. Bahkan beliau adalah ciptaan Tuhan yang paling agung. Beliau lebih mulia dari Arsyi. Dari itu, tidaklah layak jika dimuliakan seseorang (meskipun seorang nabi) atau makhluk apapun di atas kemuliaan beliau dalam hal apapun.
Garis keturunan yang mulia adalah keutamaan terpenting yang dimiliki beliau. Allah Swt. telah memuji garis keturunan beliau dalam ayat “Dan perpindahanmu di antara orang-orang yang sujud“. Saidina Ibnu Abbas Ra. menafsirkan ayat tersebut dengan perkataannya: “Dan perpindahan beliau dari (tulang rusuk) nabi ke nabi, dari Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, sampai akhirnya lahir menjadi seorang nabi terunggul”. Maka Rasulullah Saw. adalah nabi tersuci nasabnya secara mutlak.
Dalam sebuah hadits dikatakan: “Allah telah memilih Nabi Isma’il dari keturunan Nabi Ibrahim, lalu Allah memilih Bani Kinanah dari Keturunan Nabi Isma’il, kemudian Allah memilih Quraish dari keturunan Bani Kinanah, lalu Allah memilih Bani Hasyim dari keturunan Quraish, dan akhirnya Allah memilihku dari keturunan Bani Hasyim“.
Apakah benar Allah Swt. menciptakan semua ciptaan-Nya karena / demi Rasulullah Saw.?
Ungkapan-ungkapan seperti itu harus difahami dengan benar dan jangan semudahnya menuduh kafir, fasiq, sesat dan bid’ah. Ini kaidah yang harus dipegang oleh umat Islam ketika mendengar ungkapan apapun dari saudara-saudara mereka yang seagama. Contohnya, seseorang beragama kristen ketika mengungkap bahwa Nabi Isa dapat menghidupkan orang mati, maka jangan cepat menuduh syirik kepada orang muslim yang senada dengan orang kristen tersebut, sebab orang kristen meyakini bahwa Nabi Isa memiliki kekuatan yang tulen tanpa sumber, sementara orang muslim meyakini bahwa kekuatan itu murni dari Allah dan berlandaskan restu Allah Swt.
Keyakinan sebagian umat Islam bahwa penciptaan Allah Swt. terjadi hanya karena / demi Rasulullah Saw. sama sekali tidak mengandung nilai syirik. Dimanakah letak kekufuran itu apabila seseorang meyakini bahwa Allah menciptakan suatu ciptaan karena seseorang? Keyakinan tersebut sama sekali tidak kontra dengan Islam, prinsip-prinsip akidah maupun dasar-dasar tauhid. Keyakinan tersebut sungguh benar apabila difahami dengan benar pula.
Allah berfirman: “Sungguh Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk mengabdi kepadaKu“. Nah, pengabdian tersebut tak dapat direalisasikan kecuali melalui Rasulullah Saw. Maka Rasulullah merupakan satu-satunya rujukan bagi umat manusia.
Apakah Rasulullah adalah cahaya? ataukah manusia seperti kita?
Rasulullah adalah cahaya, itu benar. Karena Allah berfirman: “Wahai ahli kitab, telah datang kepadamu cahaya dan kitab yang menerangkan“. Allah juga berfirman: “Dan untuk jadi penyeru kepada agama Allah dengan izinNya dan untuk jadi cahaya yang menerangi“. Jadi, tidak salah bila meyakini beliau sebagai cahaya selama Allah sendiri yang menyatakannya. Dalam banyak hadits juga akan ditemukan para sahabat mengatakan bahwa wajah Rasulullah seperti bulan, dan kecahayaan tersebut bersifat fisikis dan bukan sekedar pujian gombal saja dari para sahabat.
Namun, di waktu yang sama, kita tidak boleh menafikan kemanusiaan Rasulullah Saw. karena Allah juga berfirman “Katakanlah: Aku manusia seperti kalian, akan tetapi aku diwahyukan“. Mari kita yakini saja beliau sebagai cahaya berbentuk manusia, tanpa harus melakukan penelitian secara detail. Sungguh, Rasulullah Saw. lebih terang dari bulan dan lebih mulia dari semua ciptaan.
Apakah Rasulullah Saw. adalah awal ciptaan Allah Swt.?
Meskipun hadits yang menyatakan hal tersebut tidak shahih atau maudhu’, namun substansinya bisa saja benar, sebab alam-alam Allah begitu banyak seperti alam ghaib, alam roh, alam jin, alam mala’ikat, alam malakut, alam mulk, alam syahadah, dll. Disana terdapat cahaya-cahaya ciptaan Allah. Mungkin-mungkin saja Rasulullah Saw. adalah cahaya Allah yang pertama kali diciptakan sebagai penguat umat manusia di alam roh.
Apa urgensi cinta Ahlul-Bait? Dan apa batasan-batasannya?
Allah Swt. berfirman: “Katakanlah hai Muhammad: Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang terhadap keluargaku“. Dalam banyak hadits, Rasulullah Saw. telah memerintahkan dan mewasiatkan kita untuk mencintai dan berpegang teguh kepada Ahlul-Bait, sebagai tanda cinta kepada Allah dan RasulNya. Selama akidah kita tetap benar maka tidak ada batasan dalam mencintai dan mengekspresikan cinta kita kepada Ahlul-Bait. Kita semua yakin bahwa tiada tuhan selain Allah dan Saidina Muhammad adalah utusan Allah. Semua nabi adalah ma’shum, sementara Ahlul-Bait dan para wali adalah mahfuz.
Apa hukum merayakan / mempringati maulid Nabi?
Perayaan / peringatan maulid Rasulullah Saw. adalah sebaik-baik perbuatan dan semulia-mulia pendekatan kepada Allah Swt. karena merupakan ekspresi cinta kepada Rasulullah Saw. dimana cinta Rasul adalah pokok utama sebuah keimanan.
Sudah banyak ulama’ dan fuqaha’ yang menulis tentang dianjurkannya perayaan maulid dengan mencantumkan argumen-argumen yang kuat semisal Imam Jalaluddin al-Suyuthi, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani, Imam Syamsuddin al-Dimasyqi, Imam Ibnul-Jauzi, Imam al-Bushairi, dll.
Apakah kedua orangtua Rasul adalah musyrik dan di neraka?
Tidak, karena mereka adalah ahli fatrah yang belum didatangi seorang rasul. Juga karena Rasulullah adalah manusia suci yang lahir dari orang-orang suci. Adapun hadits-hadits yang secara tekstual dan kasat mata menyatakan bahwa kedua orangtua Rasul di neraka, harus difahami dengan benar. Contohnya, hadits yang menjelaskan bahwa Allah tidak mengizinkan Rasulullah beristighfar untuk ibunya, tidaklah selalu bermakna ibunya syirik dan di neraka, sebab Allah masih mengizinkan Rasulullah untuk menziarahi kuburan ibnunya, sementara kuburan orang-orang musyrik tidak boleh diziarahi.
Apakah boleh bertawassul dengan Rasulullah Saw. dalam do’a selepas beliau wafat?
Mazhab empat sudah ijma’ bahwa tawassul dengan Rasul hukumnya ja’iz bahkan mustahab, baik sewaktu beliau masih di dunia maupun setelah meninggal dunia.
Apakah Rasulullah Saw. masih hidup dalam kuburnya? Dan apa pengaruh kehidupan itu bagi kita yang masih di dunia?
Meskipun beliau telah meninggal dunia, namun hubungan beliau dengan kita belum terputus dan beliau masih punya kehidupan lain di alam yang berbeda. Rasulullah Saw. bersabda: “Kehidupanku penting bagimu dan kematianku juga penting bagimu, sebab perbuatanmu akan dilaporkan kepadaku, jika perbuatanmu baik maka aku bersyukur, dan jika buruk maka untukmu aku beristighfar“.
Dalam hadits lain: “Para nabi masih hidup dalam kubur-kubur mereka dan masih melakukan sembahyang“. Dalam hadits lain: “Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad-jasad para nabi“. Jadi, Rasulullah dalam maqam beliau di Madinah, masih hidup dengan jasad dan rohnya sekalian, dan masih beribadah serta memberi syafaat dan beristighfar untuk umat. Hal ini tanpa menafikan bahwa beliau telah meninggal dunia.(sumber)